Selasa, 26 Agustus 2008

Kesan Pertama di pulau Wanka


Juni 1994
Sembilan mahasiswa Politeknik Manufaktur Bandung-ITB (PMS= Politeknik Mekanik Swiss) dengan dua pembimbing (Instruktur) berangkat dari Bandara Sukarno Hatta, Cengkareng dengan pesawat Merpati. Peenuh canda dan angan yang terbayang, pantai, mancing, dan putihnya pasir yang terhampar disisi ombak.


Saat boarding pun tiba, dan sebelas utusan ITB (Institut Teknologi Bandung) menuju pesawat foker 100, yang akan menerbangkan mereka menuju pulau impian. Kenyamanan dan keramahan pelayanan diterima dari crew Merpati airlines.


Hingga pada menit ke 45 setelah take off, nampak dari jendela pesawat, sebuah pulau yang cokelat, gersang dan berlubang bak bekas cacar air, yang sudah mulai membekas. Nampak tepat berada dibawah kaki mereka. Hampir semua utusan tersebut mempertanyakan mimpi indahnya dan mulai dengan mimpi baru di tentang belantara papua.

Rasa takut, dan enggan untuk keluar dari pesawat, dan melanjutkan ke Palembang merupakan pilihan tepat rasanya. Namun dengan senyum dan ajakan merayu sang Pramugari lah yang meluluhkan hati mereka untuk mengijnakkan kaki di tanag Pintu sedulang.

Tidak hanya disitu, jemputan dan sambutan dari staff PT. Timah tbk membuat hati mereka tergoda, apalagi sebah VW Combi brazil yang di tawarkan untuk mereka tumpangi menuju titik perjuangan.

Roda bergulir dengan pasti dan tenangnya, melindas aspal hitam yang pasti panas saat itu. menuju sebuah kota yang tadi sempat tersembunyi di balik awan. Sebuah asa mulai tumbuh saat melihat beberapa boad Bank terkemuka saat itu, ketaknya di pinggir jalan utama. Keramaian kota siang itu membuat utusan tersebut sedikit lega. dan berharap inilah titik perjuangan mereka. Namun apadaya, roda bulat di kaki VW combi belum juga menandakan akan berhenti. Hingga keluar dari keramaian kota (Selindung) dang melewati deretan pohon bakau yang sangat rimbun. terus dan terus, tiada lagi diantara mereka yang mencoba memulai sebuah kata, untuk memulai sebuah mimpi indahnya, hanya Bapak sopir yang sering menjelaskan nama tempat yang dilalui, semuannya tidak menggerakkan hati mereka untuk menanggapi.

Sebuah Gerbang sederhana yang berada di tengah jalan dengan dua arah, dan bertulikan "Selamat Datang di Sungailiat" membuat utusan ini agak bernapas lega. " Mungkin ini titik perjuangan itu?", apalagi dengan tanpa sengaja melihat sebuah lapangan basket dengan papan terbuat dari fiber transparan. " rupanya kota ini cukup maju" pikir mereka memulai senyuman.

Sebuah perempatan dengan patung ikan yang berdiri tegak, dan nampak begitu megah, walau jauh dari sumber hidup,air. memcah arah perjalanan menuju perbukitan (bukit betung) dengan pemandangan cukup menawan (rumah masa depan) yang nampak tenang dan damai. rupanya harapan untuk berapa di kota tersebutpun harus lenyap, karena mereka sadar mereka hanya dilalui saja.

Kembali nampak semak kering, di sisi jalan dan lebar jalan yang relatif sempit untuk ukuran jalan raya. Sesekali nampak siswa-siswi SMP, SMA mengayuh sepedah dengan penuh ceria, entah mereka senang akan ke sekolah atauhkan senang telah lepas dari kungkungan pelajaran dan terbanyang makan siang mereka.

Sebuah papan nama yang membuat utusan ini tertarik untuk berkomentar "PEMALI", dan lebih mengejutkan lagi, saat kendaraan yang mereka tumpangi berbelok dijalan tanah dan berdebu, serta merta debu merah yang berhamburan setelah dilewati.

Tercekam, mungkin..? namun tidak ada kata yang dapat diungkapkan melihat mimpi mereka berlahan dan pasti akan pudar. hingga sebuah komplek bangunan yang tertata rapi dan berkesan terawat dan bersih nampak di depan mata. bergaya kuno namun anggun. Berpengalaman sebelumnya, tidak ada sebuah harapan untuk tempat ini. namun cukup menarik dan menggoda. hamparan rumput hijau dan halaman luas yang menyatukan rumah yang satu dengan yang lainnya, tanpa sebuah pagar sebagai pemisahnya. nampak begitu rukun dan damai tempatnya. hingga sebuah bangunan yang tinggi dan megah yang berada di dataran tinggi. Kendaraan mereka berhenti, dan beberapa orang yang beseragam putih biru berdiri berbaris seperti pagar menyambut kedatangan mereka.

Unik dan anggun, bangunan yang berdiri di atas batu-batu besar, dengan 50 anak tangga yang cukup menghantarkan kaki menuju selasar rumah. suara burung prenjak, dan murai batu menyambut mereka. Hamparan makanan lesat tersedia dan sangat mengundang selera untuk di santap. namun diantara mereka tidak ada yang berminat untuk memulai.

Setelah sedikit berbasa basi dan perkenalan dengan barisan penyambut mereka, dengan ramah mereka mnunjukkan kamar masing-masing. Sederhana, namun nyaman, dengan AC disetiap kamar dan kamar mandi sendiri, membuat nyaman rasanya.

Kiranya disebuah hutan belantara masih ada oasis yang mungkin tidak semua orang akan temui. Jelas inilah titik perjuangan itu. Pemberhentian terakhir di sebuah perjalanan. namun awal dan titik tolak sebuah mimpi indah akan dimulai.

Banggalah wahai rakyat Bangka, sebentar lagi sebuah pilar akan berdiri kokoh dan tinggi. Semua bukan untuk kami yang datang, tapi untuk kalian yang mau maju.

Jumat, 22 Agustus 2008

Sahabat

seorang remaja berkata, Bicaralah pada kami tentang Persahabatan.


Dan dia menjawab:"Sahabat adalah keperluan jiwa, yang mesti dipenuhi.Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau tuai dengan penuh rasa terima kasih.Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu.Kerana kau menghampirinya saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa mahu kedamaian."


Bila dia berbicara, mengungkapkan fikirannya, kau tiada takut membisikkan kata “Tidak” di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata “Ya”.Dan bilamana dia diam,hatimu berhenti dari mendengar hatinya; kerana tanpa ungkapan kata, dalam persahabatan, segala fikiran, hasrat, dan keinginan dilahirkan bersama dan dikongsi, dengan kegembiraan tiada terkirakan.Di kala berpisah dengan sahabat, tiadalah kau berdukacita;Kerana yang paling kau kasihi dalam dirinya, mungkin kau nampak lebih jelas dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, nampak lebih agung daripada tanah ngarai dataran.

Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan.Kerana cinta yang mencari sesuatu di luar jangkauan misterinya, bukanlah cinta , tetapi sebuah jala yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada diharapkan.

Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu. Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula musim pasangmu. Gerangan apa sahabat itu jika kau sentiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu?Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!Kerana dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu. Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria dan berkongsi kegembiraan..

Karena dalam titisan kecil embun pagi, hati manusia menemui fajar dan ghairah segar kehidupan.
Khalil Gibran

Kamis, 21 Agustus 2008

Lubang Camui di Tambang Timah



Penambangan rakyat di pulau Bangka merupakan suatu kegiatan masyarakat dalam mengais kekayaan alam yang ada, untuk keperluan dan menyambung hidup. Hal ini sudah menjadi tradisi rakyat sejak dahulua.

Penambangan timah rakyat di Bangka sering disebut tambang inkonvensional (TI). Eksplorasi logam putih keperakan ini, bahkan semakin banyak merambah wilayah daerah aliran sungai, tepian pantai sampai ke kawasan permukiman.

Selama ini, pemerintah daerah sering kali merasa kesulitan jika berhadapan dengan masyarakat. masyarakat beralasan, usaha tambang itu hanya untuk memenuhi kebutuhan perut. Mungkin ada benarnya, Alasan ekonomi patut dipertimbangkan, tetapi tidak bisa terus-menerus ditoleransi. Hal ini dikarenakan banyak pengusaha tambang bermodal besar yang berlindung dengan memanfaatkan rakyat. Para pemodal yang kebanyakan berasal dari luar Bangka itu berlindung bahwa tambang yang mereka usahakan adalah tambang rakyat.

Dampak pengelola dan rakyat ini, yang terus menerus berlarut tanpa ada suatu kesepakatan menimbulkan dampak yang cukup luas, antaralain:
Kerusakan Lingkungan, hal ini memang berdapak sangat jelas, dimana penambang, yang mengats namakan "Rakyat" akan merasakan berat untuk melakukan reklamasi daerah yang telah di eksploitasi. baik karena biaya dan pengetahuan yang tidak mencukupi.
Angka siswa yang putus sekolah meningkat, hal ini di mulai sejak pemerintah daerah mengizinkan penambangan oleh rakyat secara legal (1998). dimana hampir semua keluarga, mengerahkan kemampuan untuk mengelola lahan dan mengeksploitasi timah. Dipacu dengan harga jual timah mengiurkan, dan bahkan melebihi harga jual Lada putih (sahang). Tidak mengherankan banyak anak-anak SD, SMP meninggalkan bangku sekolah untuk ikut mengais butiran timah di antara butiran pasir, dan lumpur. Lantaran jumlah sekolah kehilangan muridnya, tak mengherankan juga bila sang guru, mencari siswanya di penambangan. Namun bukan untuk mengajak kembali ke kelas... namun ikut bergabung untuk ikut serta mengais timah. Dampaknya memang sangat terasa dalam hal pendapatan keluarga, dan bahkan seperti mendapat durian runtuh. Namun demikian hal ini tidaklah lama bertahan, pada 2-3 tahun setelah penambangan di legalkan untuk rakyat, kondisi ini semakin lama-semakin menjadi penyebab terjadinya jumlah kejahatan meningkat.
Meningkatnya angka kejahatan, bukan saja karena ekonomi saja, atau jumlah pengagguran akibat kehilangan pekerjaan, namun juga disebabkan masuknya masyarakat luar dari Bangka Belitung yang juga ingin menikmati rezeki ini. Baik dalam penjualan Narkoba, ataupun tempat-tempat hiburan, yang cenderung membawa dampak perkelahian dan juga pembunuhan.
Jumlah Kecelakaan Kerja dan bahkan kematian akibat penambangan rakyat tidak dapat di hitung. Baik oleh masyarakat bangka,maupun masyarakat luar bangka. Jumlah yang pasti dari korban tidak dapat terdata. hal ini dikarenakan mereka yang meninggal akibat terkubur, ataupun hilang di dalam lubang penambangan.
Penambang kadang tidak membekali diri dengan alat keselamatan kerja yang cukup dan bahkan pemahaman tentang struktur tanah ataupun laut tidak memadai.
Kecelakaan di lokasi tambang timah apung, terjadi saat penambang menyelam hingga kedalaman puluhan meter hanya menggunakan selang ke mulut untuk mendapatkan oksigen dan juga ada yang berbekal kompresor dan alat hisap mereka turun ke dasar laut untuk mendapatkan bijih timah.
Haruskan Pemerintah membiarkan ini terus terjadi tanpa harus diperbaiki???
Ataukah Kita senang dengan berkurangnya nyawa manusia karena kecelakaan kerja, sehingga akan mengurangi jumlah pengguran???
Ataukan kita biarkan anak cucu kita hanya kan menikmati Pulau Bangka ini hanya dengan seribu dan berjuta lubang menganga...???

Senin, 11 Agustus 2008

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN NASIONAL



Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.
Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998.
Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.

DEMOKRATISASI DAN DESENTRALISASI (OTONOMI DAERAH)

Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat.
Demikian juga perana pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan; inilah yang merupakan paradigma baru, yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis.

Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun (pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerahmenjamin terselenggaranya wajib belajar, minimla pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2).

Dengan adanya desentralisai penyelenggaraan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1). Bahkan, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 - ("Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional") - (pasal 46 ayat 2). Itulah sebabnya dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) (pasal 49 ayat 1). Khusus gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah (pusat) dialokasikan dalam APBN (pasal 49 ayat 2).

Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Dalam memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut maka pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka pengelolaan dan pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2) Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini pemerintah (pusat) menentukan kebijakan nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2). Sedangka pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan paradigma baru pendidikan, untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Dalam hal ini pewilayahan komoditas harus dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dengan basis keunggulan lokal. Hak ini bukan saja berkaitan dengan kurikulum yang memperhatikan juga muatan lokal (pasal 37 ayat 1 huruf j), melainkan lebih memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk segera memasuki dunia kerja di lingkungan terdekatnya, dan juga untuk menjadi ahli dalam bidang tersebut.

Dengan demikian persoalan penyediaan tenaga kerja dengan mudah teratasi dan bahkan dapat tercipta secara otomatis.

Selain itu pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Hal ini dimaksudkan agar selain mengembangkan keunggulan lokal melalui penyediaan tenagatenaga terdidik, juga menyikapi perlunya tersedia satuan pendidikan yang dapat
menghasilkan lulusan kaliber dunia di Indonesia.

Untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkwalitas, maka pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat 2). Dalam hal ini termasuk memfasilitasi dan/atau menyediakan pendidik dan/atau guru yang seagama dengan peserta didik dan pendidik dan/atau guru untuk mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik (pasa 12 ayat 1 huruf a dan b). Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah, yang pengangkatan, penempatan dan penyebarannya diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal (pasal 41 ayat 1 dan 2)).

Selain itu pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah memiliki kewenangan mengeluarkan dan mencabut izin bagi semua satuan pendidikan formal maupun non formal (pasal 62 ayat 1), sesuai dengan lingkup tugas masing-masing. Dengan adanya desentralisasi perizinan akan semakin mendekatkan pelayanan klepada rakyat, sesuai dengan tujuan otonomi pemerintahan daerah.

PERAN SERTA MASYARAKAT

Demokratisasi penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2).
Oleh karena itu masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan (pasal 55 ayat 1 dan 2). Dana pendidikan yang berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan/atau sumber lain (pasal 55 ayat 3). Demikian juga lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah.

Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan (pasal 1 butir 24 dan 25). Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis (pasal 56 ayat 2). Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggungjawab komite sekolah/madrasah (pasal 56 ayat 3).

TANTANGAN GLOBALISASI

Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, maka sebagaimana dijelaskan di muka, harus ada minimal satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik oleh pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3).

Untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat 1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2).

Badan hukum pendidikan yang akan diatur dengan undang-undang tersendiri (pasal 53 ayat 4) itu, harus berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan (pasal 53 ayat 3). Dengan adanya badan hukum pendidikan itu, maka dana dari masyarakat dan bantuan asing dapat diserap dan dikelola secara profesional, transparan dan akuntabilitas publiknya dapat dijamin. Dengan demikian badan hukum pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggaraan pendidikan dan/atau satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan global.
Selain itu diperlukan pula lembaga akreditasi dan sertifikasi. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (pasal 60 ayat 1), yang dilakukan oleh pemerintah (pusat) dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik (pasal 60 ayat 2). Akreditasi dilakukan atas kriteria yang bersifat terbuka (pasal 60 ayat 3), sehingga semua pihak, terutama penyelenggara dapat mengetahui posisi satuan pendidikannya secara transparan.
Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan ditentukan oleh kompetensi yang dibuktikan oleh sertifikat kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Dalam mengantisipasi perkembangan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam sisdiknas, sebagai paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1 dan 2).
KESETARAAN DAN KESEIMBANGAN

Paradigma baru lainnya yang dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru adalah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Tidak ada lagi istilah satuan pendidikan "plat merah" atau "plat kuning"; semuanya berhak memperoleh dana dari negara dalam suatu sistem yang terpadu. Demikian juga adanya kesetaraan antara satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama yang memiliki ciri khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan disebutkan mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama (madrasah, dst.). Dengan demikian UU Sisdiknas telah menempatkan pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistemik (pasal 4 ayat 2).

Selain itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 45, telah memberikan keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3).
Dengan demikian UU Sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan antara iman, ilmu dan amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3) , dimana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sebagainya dipadukan menjadi satu.

JALUR PENDIDIKAN

Perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur : sekolah dan luar sekolah menjadi 3 jalur: formal, nonformal, dan informal – (pasal 13) juga merupakan perubahan mendasar dalamSisdiknas. Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan informal (keluarga) tersebutsebenarnya juga telah diberlakukan, namun termasuk dalam jalur pendidikan luarsekolah, dan ketentuan penyelenggaraannyapun tidak konkrit.
Jalur formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (pasal 14), dengan jenis pendidikan: umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15).
Pendidikan formal dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat (pasal 16).
Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (Mts) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 17 ayat 1 dan 2). Dengan demikian istilah SLTP harus berganti kembali menjadi SMP.

Sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar, bagi anak usia 0-6 tahun diselenggarakan pendidikan anak usia dini, tetapi bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar (pasal 28 dan penjelasannya). Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal (TK, raudatul athfal, dan bentuk lain yang sejenis), nonformal (kelompok bermain, taman/panti penitipan anak) dan/atau informal (pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan).
Pendidikan menengah yang merupakan kelanjutan pendidikan dasar terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, serta berbentuk sekolah menengah atas (SMA) , madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 18). Sebagaimana istilah SLTP, maka sebutan SLTA berganti lagi menjadi SMA.
Pendidikan tinggi yang merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah, mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, dan doktor, yang diselenggarakan dengan sistem terbuka (pasal 19 ayat 1-3). Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas, yang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, dan dapat menyelenggarakan program akademik, profesi dan/atau vokasi (pasal 20 ayat 1- 3).
Perguruan tinggi juga dapat memberikan gelar akademik, profesi atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakan (pasal 21 ayat 1). Bagi perguruan tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni (pasal 22).

Selain itu masalah yang cukup aktual dan meresahkan masyarakat, seperti pemberian gelar-gelar instan, pembuatan skripsi atau tesis palsu, ijazah palsu dan lain-lain, telah diatur dan diancam sebagai tindak pidana dengan sanksi yang juga telah ditetapkan dalam UU Sisdiknas yang baru (Bab XX Ketentuan Pidana, pasal 67-71).

Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat, dan berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional (pasal 26 ayat 1 dan 2). Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik (pasal 26 ayat 3). Satuan pendidikan nonformal meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan
nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan (pasal 26 ayat 6).

Sedangkan pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, yang hasilnya diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27).

Sumber: Arifin, Anwar, Prof. Dr., Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam
Undang-Undang SISDIKNAS, POKSI VI FPG DPR RI, 2003.