Minggu, 03 Oktober 2010

Ini Hidup Gue, Nggak Ada Urusannya Sama Elu!

by Anjar Anastasia on Friday, October 1, 2010 at 11:03am
 
Seorang teman baik hari lalu gundah gulana.

Perusahaan tempatnya bekerja, akan melakukan PHK besar-besaran. Ada 2 opsi yang dipilih. Opsi itu berupa keluar dengan pesangon atau tetap, tetapi ikut perekrutan kembali.

Sebagai orang yang cukup lama dan mempunyai prospek bagus selama ini, semula ia PD saja untuk mengikuti opsi kedua. Posisinya memang masih sangat dibutuhkan di sana. Berharap ia pun boleh berkembang dan memiliki masa depan yang lebih baik ke depan. Meskipun opsi pertama menggiurkan juga, kecondongannya untuk memilih opsi kedua lebih kuat di saat itu.

Namun, beberapa hari lalu dia bilang ke saya bahwa setelah ngobrol sana sini ia memutuskan untuk ikut opsi pertama saja. Perimbangannya karena perusahaan tidak bisa menjanjikan bisa sama-sama memberi kondisi yang lebih baik untuk kehidupannya jika ia tetap bersetia kepada perusahaan.

Saya coba sarankan mengobrol dengan orang yang lebih berpengalaman. Mungkin punya pendapat kedua yang bisa menambah wawasannya. Tapi, ia sudah mutung di jalan sebab ketika ia menghadap pada seorang tetua tidak mendapat tanggapan yang seperti diinginkan.
Jauh di lubuk hati saya, saya sebenernya menyesalkan keputusannya itu. Apalagi dia belum punya kepastian hendak bekerja kemana kalau memilih opsi pertama. Tapi, saya juga percaya pada kedewasaannya untuk memilih yang terbaik bagi hidupnya.

Dan, malam tadi, di saat kepala saya masih klenyengan, teman baik saya itu mengirim SMS yang berisi berita bahwa ia tidak jadi memilih opsi pertama. Ia mau kembali memilih opsi kedua saja.
Sontak kepala saya yang sempat klenyengan karena dari siang memang merasa nggak beres, mulai mendingan. Saya pun tersenyum panjang.

Tadi pagi, ia melanjutkan lagi SMS-nya bahwa ia mendapat kepastian tentang untung ruginya ia terus di perusahaan itu dari seorang tetua yang sangat ia hormati. Kepastian yang membuatnya mantap mengambil keputusan.

Saya jadi lega.
Bukan karena akhirnya ia bertahan saja. Tetapi, karena ia sudah mantap dan berani melangkah untuk kehidupan selanjutnya.

Ketika saya memutuskan untuk meneruskan hidup di kota Bandung, banyak orang yang menyayangkan. Bukan saja karena melihat kemungkinan saya bekerja di luat Bandung lebih besar, tapi juga karena Ibu saya yang tinggal sendiri di Lampung.

Sebagai anak tunggal, jelas kehadiran saya sangat diinginkan oleh Ibu. Apalagi beliau tinggal sendiri di Lampung. Meski beliau mendukung agar hidup saya lebih berkembang, jauh di lubuk hatinya, ada pertentangan atas pilihan saya. Secara langsung, maupun tidak langsung Ibu memang pernah menyatakan ingin saya tetap di Lampung, bersamanya.

Di saat saya gundah, saya menemukan banyak teman, saudara bahkan diri saya sendiri (melalui penguatan dalam doa-doa saya) yang menyatakan bahwa saya bisa dan sangat boleh menentukan hidup saya sendiri. Tidak ada seorang pun yang bisa mengintimidasi hidup kita. Mempengaruhi hingga hidup kita tergantung padanya. Tentu saja, jika berhubungan dengan orang tua dan keluarga, masih ada pertimbangan lain untuk tetap selalu mendengar segala saran dan masukannya.

Ibu saya pun ternyata diam-diam mendukung penuh pada keputusan apa pun yang saya ambil. Bahkan di saat menjelang ajalnya, ia pernah berpesan kepada yang menungguinya untuk jangan menggangu saya dahulu sebab saat itu saya sedang mempersiapkan launching buku pertama saya.
Pengertian serta pengorbanan Ibu saya ini sungguh amat sangat berarti serta menjadi motivasi saya untuk juga mendukung keputusan hidup orang lain.

Ya… Tidak mudah ketika kita harus mengambil keputusan yang berhubungan dengan proses hidup selanjutnya. Terkadang sekian banyak pertimbangan menjadi masalah baru pada keputusan yang sebenarnya sudah ada di dalam hati. Peran orang-orang sekitar juga bisa mempengaruhi. Alhasil, kita seperti seorang yang bodoh karena tidak bisa menetap mengambil keputusan. Gonta ganti dalam relatif waktu yang singkat

Tidaklah salah pula bila meminta pertimbangan kepada orang lain terutama yang terdekat atas apa yang akan kita putuskan. Hal itu bisa menjadi penguat.

Namun, biar bagaimana pun, hidup kita adalah milik kita. Segala yang terjadi adalah tanggungjawab kita sendiri. Termasuk mengambil keputusan itu.
Jika pada saatnya kita mengikuti saran dari orang lain, sebaiknya itu bukan karena kita menurut atau karena solidaritas semata. Begitu pula jika akhiranya memilih keputusan dari dalam diri sendiri, itu juga bukan karena kita membangkang atau tidak solider. Semua harus punya landasan alasan yang kuat.

Dengan begitu perjalanan panjang dan punya tantangannya sendiri terasa ringan hingga sampai tujuan.

(untuk seorang teman baik dalam “hidup barunya”, 1 Okto 2010)
 

Tidak ada komentar: