Selasa, 26 Agustus 2008

Kesan Pertama di pulau Wanka


Juni 1994
Sembilan mahasiswa Politeknik Manufaktur Bandung-ITB (PMS= Politeknik Mekanik Swiss) dengan dua pembimbing (Instruktur) berangkat dari Bandara Sukarno Hatta, Cengkareng dengan pesawat Merpati. Peenuh canda dan angan yang terbayang, pantai, mancing, dan putihnya pasir yang terhampar disisi ombak.


Saat boarding pun tiba, dan sebelas utusan ITB (Institut Teknologi Bandung) menuju pesawat foker 100, yang akan menerbangkan mereka menuju pulau impian. Kenyamanan dan keramahan pelayanan diterima dari crew Merpati airlines.


Hingga pada menit ke 45 setelah take off, nampak dari jendela pesawat, sebuah pulau yang cokelat, gersang dan berlubang bak bekas cacar air, yang sudah mulai membekas. Nampak tepat berada dibawah kaki mereka. Hampir semua utusan tersebut mempertanyakan mimpi indahnya dan mulai dengan mimpi baru di tentang belantara papua.

Rasa takut, dan enggan untuk keluar dari pesawat, dan melanjutkan ke Palembang merupakan pilihan tepat rasanya. Namun dengan senyum dan ajakan merayu sang Pramugari lah yang meluluhkan hati mereka untuk mengijnakkan kaki di tanag Pintu sedulang.

Tidak hanya disitu, jemputan dan sambutan dari staff PT. Timah tbk membuat hati mereka tergoda, apalagi sebah VW Combi brazil yang di tawarkan untuk mereka tumpangi menuju titik perjuangan.

Roda bergulir dengan pasti dan tenangnya, melindas aspal hitam yang pasti panas saat itu. menuju sebuah kota yang tadi sempat tersembunyi di balik awan. Sebuah asa mulai tumbuh saat melihat beberapa boad Bank terkemuka saat itu, ketaknya di pinggir jalan utama. Keramaian kota siang itu membuat utusan tersebut sedikit lega. dan berharap inilah titik perjuangan mereka. Namun apadaya, roda bulat di kaki VW combi belum juga menandakan akan berhenti. Hingga keluar dari keramaian kota (Selindung) dang melewati deretan pohon bakau yang sangat rimbun. terus dan terus, tiada lagi diantara mereka yang mencoba memulai sebuah kata, untuk memulai sebuah mimpi indahnya, hanya Bapak sopir yang sering menjelaskan nama tempat yang dilalui, semuannya tidak menggerakkan hati mereka untuk menanggapi.

Sebuah Gerbang sederhana yang berada di tengah jalan dengan dua arah, dan bertulikan "Selamat Datang di Sungailiat" membuat utusan ini agak bernapas lega. " Mungkin ini titik perjuangan itu?", apalagi dengan tanpa sengaja melihat sebuah lapangan basket dengan papan terbuat dari fiber transparan. " rupanya kota ini cukup maju" pikir mereka memulai senyuman.

Sebuah perempatan dengan patung ikan yang berdiri tegak, dan nampak begitu megah, walau jauh dari sumber hidup,air. memcah arah perjalanan menuju perbukitan (bukit betung) dengan pemandangan cukup menawan (rumah masa depan) yang nampak tenang dan damai. rupanya harapan untuk berapa di kota tersebutpun harus lenyap, karena mereka sadar mereka hanya dilalui saja.

Kembali nampak semak kering, di sisi jalan dan lebar jalan yang relatif sempit untuk ukuran jalan raya. Sesekali nampak siswa-siswi SMP, SMA mengayuh sepedah dengan penuh ceria, entah mereka senang akan ke sekolah atauhkan senang telah lepas dari kungkungan pelajaran dan terbanyang makan siang mereka.

Sebuah papan nama yang membuat utusan ini tertarik untuk berkomentar "PEMALI", dan lebih mengejutkan lagi, saat kendaraan yang mereka tumpangi berbelok dijalan tanah dan berdebu, serta merta debu merah yang berhamburan setelah dilewati.

Tercekam, mungkin..? namun tidak ada kata yang dapat diungkapkan melihat mimpi mereka berlahan dan pasti akan pudar. hingga sebuah komplek bangunan yang tertata rapi dan berkesan terawat dan bersih nampak di depan mata. bergaya kuno namun anggun. Berpengalaman sebelumnya, tidak ada sebuah harapan untuk tempat ini. namun cukup menarik dan menggoda. hamparan rumput hijau dan halaman luas yang menyatukan rumah yang satu dengan yang lainnya, tanpa sebuah pagar sebagai pemisahnya. nampak begitu rukun dan damai tempatnya. hingga sebuah bangunan yang tinggi dan megah yang berada di dataran tinggi. Kendaraan mereka berhenti, dan beberapa orang yang beseragam putih biru berdiri berbaris seperti pagar menyambut kedatangan mereka.

Unik dan anggun, bangunan yang berdiri di atas batu-batu besar, dengan 50 anak tangga yang cukup menghantarkan kaki menuju selasar rumah. suara burung prenjak, dan murai batu menyambut mereka. Hamparan makanan lesat tersedia dan sangat mengundang selera untuk di santap. namun diantara mereka tidak ada yang berminat untuk memulai.

Setelah sedikit berbasa basi dan perkenalan dengan barisan penyambut mereka, dengan ramah mereka mnunjukkan kamar masing-masing. Sederhana, namun nyaman, dengan AC disetiap kamar dan kamar mandi sendiri, membuat nyaman rasanya.

Kiranya disebuah hutan belantara masih ada oasis yang mungkin tidak semua orang akan temui. Jelas inilah titik perjuangan itu. Pemberhentian terakhir di sebuah perjalanan. namun awal dan titik tolak sebuah mimpi indah akan dimulai.

Banggalah wahai rakyat Bangka, sebentar lagi sebuah pilar akan berdiri kokoh dan tinggi. Semua bukan untuk kami yang datang, tapi untuk kalian yang mau maju.

Tidak ada komentar: