Rabu, 03 September 2008

Kesan Pertama di Pulau Wanka

1995
Rasanya tidak lama lagi kami akan tinggalkan pulau timah ini, detik-detik akhir sebelum lepas landas dari Bandara Dipati Amir Pangkalpinang, dimana hujan masih saja turun, seolah menangis kami yang akan berangkat... atau terlalu banyak salah yang kami buat selama 11 bulan ini??
Tergambar jelas saat kami mendarat dan tiba di pulau timah ini, di bandara ini kami merasa bimbang, namun saat ini kami pun malas untuk melepaskan semua cerita yang terukir di sanubari kami, untuk semua cerita suka dan duka di tanah timah dan sahang yang jadi favorit ini.

Setelah ini, kami pun harus berjuang untuk nasip kami di meja belajar, di bengkel mekanik, dan bertemu semua instruktur berjaslab hijau, untuk mendapatkan sebuah gelar Ahli Madya. Sebal rasanya, namun inilah jalan yang memang harus di lalui.

Alunan lagu Negeri diawan milik Katon KLA Project, membuat kami mengidamkan sebuah pengharapan, dan kedamaian, teringat juga lagu ini yang temani kami selama 11 bulan punama di Pemali.
Disaat impian kami terhempas akan keindahan duniawi, Negeri di Awan ini yang memberikan harapan dan semagat untuk bangkit menyusun Scedule program DIII Politeknik Manufaktur Timah, menyusun dan me-layout bengkel, inventarisasi peralatan dan mentrasver semua yang kami miliki kepada putra-putri terbaik di Bangka yang haus akan masa depan yang lebih baik. tak terasa bahu membahu kami dengan mereka, begitu memberikan warna dan torehan mendalam dalam hati kami.
Sebuah gedung bekas gudang yang di ubah menjadi bengkel praktik, dimana semua peralatan yang di janjikan untuk praktik mekanik yang hingga saat itu belum juga datang, membuat semuanya harus menyusun rencana B, dan saat semua peralatan yang super mewah dan lengkap datang, dan tidak tanggung-tanggung jumlahnya, membuat waktu berjalan sangat cepat rasanya, atau 24 jam kurang untuk menyusun dan men-setup peralatan tersebut.
Hanya ini yang membuat kami betah, semangat dan yang pasti kami semua merasa hidup. ini kerjaan kami, ini dunia kami. Lelah, kantuk dan kadang lapar pun kami lupakan. Hanya sebuah mimpi di titik perjuangan sudah kami temukan.
Seratus empat puluh empat mahasiswa-mahasiswi yang membantu kami, mendukung kami untuk mimpi kami mempersiapkan titik perjuangan ini. Titik awal sedang kami siapkan, siap untuk di lanjutkan titik, demi titik. 11 bulan purnama dengan 11 orang memulai titik ke titik yang di tetapkan.
Titik-titik itu mungkin baru beberapa milimeter berbentuk garis panjangnya. Bukan untuk dijadikan sebuah kebanggaan, namun bagi kami titik itu sebuah garis tegas dan sebuah karya sederhana dari tangan-tangan muda anak Indonesia.
Bila diukur garis kami ini mungkin tidak sepanjang garis pantai Rebo, Pantai tikus, Pantai Tanjung Pesona, pantai teluk uber, Pantai Batu Berdaun, Pantai Tenggiri, Pantai Matras, ataupun sampai pantai Romodong.
Bila dibandingkan, karya kami ini tidak setinggi Gunung Maras, Gunung Mangkol, ataupun Mercusuar di Muntok.
Hasil kami pun tidak lebih dari harga Sahang, ataupun harga Siput gonggong. apalagi seharga timah...
Kami hanya memberi yang kami bisa, dan Bisa karena terbiasa.. tidak ada yang bodoh, tidak ada yang tidak mampu. namun kami tawarkan kemauan dan kesempatan.. selanjutnya mereka yang membiasakan...
Hingga kami masuk dalam badan pesawat, hujan belum juga berhenti, petir terdengar bagai marah kepada kami yang akan pergi, Mungkin kesempatan kami hanya sampai disini, namun hati kami telah terpaut oleh indahnya pesona Bangka, pesona semua kedamaian dan kultur yang sederhana. Riak gelombang, putihnya pasir pantai, sendau gurau miak dan bujang.
Tanahmu, Negeri Sepintu Sedulang, mempunyai pesona dalam kehidupan.

Tidak ada komentar: